Falsafah atau filosofi rumah limasan



SANGNANANG.COM-Negara kita memang terdiri atas berbagai suku bangsa. Hampir setiap suku bangsa yang ada memiliki ciri tradisi, adat istiadat, dan budayanya masing-masing sebagai identitas atau jati diri. Diantara ciri khas jati diri tersebut adalah bahasa, pakaian, tarian, serta rumah adat. Jika orang Minang punya rumah gadang, suku Dayak memilik rumah kalang, maka orang Jawa memiliki rumah adat yang berbentuk rumah Joglo. Joglo, sekedar othak-athik gathuk, mungkin berasal dari kata Jogja-Solo. Hal ini sangat logis mengingat dinasti penerus Mataram yang berkedudukan di keraton Jogja dan Solo merupakan trah utama yang menjadi garda terdepan dalam pelestarian adat dan budaya Jawa.

Omah LimasRumah Joglo sesungguhnya bukanlah menjadi mayoritas bangunan rumah yang ditinggali warga suku Jawa. Struktur lengkap sebuah rumah Joglo meliputi beberapa bagian, yaitu pendopo, pringgitan, dan dalem sebagai bagian utama di tengah kompleks rumah secara keseluruhan. Struktur bangunan utama tersebut ditambah dengan gandok, gadri, dan pakiwon yang mengitari di sisi kanan, kiri, dan bagian belakang. Dengan kelengkapan struktur bangunan tersebut dapat dipastikan bahwa sebuah bangunan rumah Joglo yang lengkap akan membutuhkan area tanah atau lahan yang cukup luas. Contoh paling nyata bangunan rumah Joglo yang terlengkap adalah bangunan keraton yang saat ini masih tersisa di Jogjakarta dan Surakarta.

Rumah Joglo yang gagah itu biasanya dibangun dengan bahan ataupun kayu-kayu pilihan. Kayu jati, sonokeling, nangka, dan jenis kayu ulet lainnya biasa menjadi penopang utama struktur bangunan rumah Joglo. Mulai dari soko guru, ander-ander, blandar, kusen, dinding, hingga atap sirap dibuat dari kayu-kayu plihan tersebut. Kebutuhan lahan yang luas dan bahan bangunan yang serba pilihan manjadikan biaya pembangunan rumah Joglo menjadi tidak murah dan jauh dari jangkauan warga biasa. Rumah Joglo menjadi terbatas hanya dibangun dan dimiliki oleh kalangan tertentu, seperti para bangsawan dan kaum ningrat, para pangreh pamong praja, serta kaum terpandang yang memiliki kelimpahan harta atau kedudukan pangkat jabatan yang tinggi. Selebihnya, sebagaimana kebanyakan masyarakat di pedesaan, mereka lebih umum tinggal di rumah yang lebih dikenal sebagai omah limasan.

Omah limasan merupakan satu bangunan tunggal, dengan ciri utama bagian atap terdiri atas empat sisi empyak. Dua sisi empyak di bagian paling depan dan belakang lebih mendatar, sedangkan sepasang empyak di bagian tengah lebih curam, bertemu di bagian puncak omah keong, sekaligus membentuk struktur limas dengan lima sisi.

Sebagai penopang struktur atap, di pusat bangunan terdapat empat buah soko guru yang dilengkapi dengan 14 soko pendamping. Hal ini melambangkan keberadaan sekawan keblat gangsal pancer, yang merupakan perlambang empat arah mata angin dan penjuru dunia kehidupan manusia. Secara vertikal, bangunan omah limasan dapat dibagi menjadi tiga bagian utama, masing-masing bantala atau tanah, struktur penegak, dan bagian atap. Gambaran ini secara filosofi merupakan warisan nilai-nilai Budha dengan perlambang alam kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu. Struktur itupun juga menyimpan nilai ajaran Hindu mengenai konsep tri hita karana, pembagian jagad menjadi jagad palemahan, pawongan, dan parahyangan.

Setelah kedatangan Islam, bangunan rumah suku Jawa merupakan penggabungan nilai-nilai kepercayaan yang telah ada sebelumnya yang dipadu dengan nilai-nilai ketauhidan Islam. Omah limasan berpijak pada bantala, tanah rata yang ditinggikan dari tanah di sekitarnya dan menjadi dudukan struktur bangunan. Manusia berasal dari tanah yang merupakan unsur utama pembentuk bumi. Di bumilah manusia diperintahkan sebagai kalifatullah fil ardzi, untuk memakmurkan bumi dengan menebarkan spirit rahmatan lil’alamin.

Soko guru dan soko-soko pendamping yang ditopang dengan ompak dari batu merupakan struktur penegak.  Bagian ini menjadi perlambang penggapaian nilai luhur sebagaimana ajaran yang dituntunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui para Rasul dan Kitab-Nya. Bentuk soko yang tegak, kuat dan lurus mengajarkan kekuatan serta kebulatan niat, tekad, dan tindakan dalam menggapai kesejatian hidup, baik di dunia maupun di alam akhirat.

Omah Limas1Sedangkan bagian atap merupakan cita-cita tertinggi pencapaian hidup manusia. Sebagai bagian dari ruh Tuhan yang ditiupkan ke dalam wadag seorang janin di alam rahim, maka manusia memiliki kecenderungan sifat dan fitrah untuk mendekat atau menggapai nilai-nilai ke-ilahian (transenden). Atap menjadi penghubung menyatunya bumi dan langit. Dengan demikian, atap menjadi perlambang menyatunya sifat insaniah dan keilahiahan manusia dengan sang pencipta alam semesta, manunggaling kawulo gusti.

Secara horisontal, omah limasan terbagi menjadi beberapa petak ruang. Di bagian paling depan merupakan tritikan atau teras. Teras merupakan bagian rumah terbuka dan menjadi area publik. Di tempat ini sering dipasang lincak, seperangkat kursi, ataupun amben kecil, untuk berbagai keperluan. Aktivitas keseharian yang bersifat santai dan nonformal banyak dilakukan di tempat ini, mulai dari sekedar duduk dan berbincang, pepetan mencari kutu rambut bagi kaum ibu, hingga tempat leyeh-leyeh melepas penat sehabis seharian bekerja di sawah sambil nglaras uyon-uyon atau campur sari.

Batas bagian luar dan dalam omah limasan dibatasi dengan papan blabak ataupun anyaman dinding gedhek. Melalui pintu utama di bagian depan, dari tritikan kita akan memasuki ruang dalam utama. Ruang utama merupakan bagian terluas dari omah limasan. Ruang utama menjadi ruang keluarga, sekaligus tempat untuk menerima tamu secara formal. Di tengah ruang utama, berdiri kokoh soko guru yang mengajarkan kekuatan untuk bersatu padu diantara semua anggota keluarga. Di samping terdapat seperangkat kursi tamu, di ruang inipun biasa terdapat amben gedhe.

Sedikit masuk lebih ke dalam, terdapat tiga buah ruang bilik atau kamar dalam yang sering disebut sebagai senthong, ada senthong tengah yang diapit oleh senthong tengen dan kiwo. Senthong tengah merupakan pusat kesakralan dan kesucian rumah tangga. Tempat ini biasa dipergunakan untuk beribadah, atau mushola di dalam rumah. Adapun senthong tengen ataupun kiwo biasa difungsikan sebagai kamar tidur kaum perempuan maupun tempat penyimpanan barang berharga ataupun persediaan bahan makanan. Melengkapi struktur bangunan omah limasan di sisi belakang ataupun samping adalah dapur dan pakiwon. Di pakiwon biasanya terdapat sumur dan padasan untuk mengambil air wudhu. Di masa kini, pakiwon kebanyakan berwujud kamar mandi yang dilengkapi sarana kakus.

Di dalam omah limasan terdapat pembagian ruang aktivitas yang berimbang untuk anggota keluarga laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki sebagai kepala rumah tangga memiliki tugas utama mencari nafkah di luar rumah. Sedangkan kaum perempuan lebih banyak memegang peranan untuk mengurus rumah tangga dengan segala hal yang terkait. Ruang utama, senthong, pawon hingga pakiwon merupakan domain perempuan yang bertanggung jawab untuk merawat dan memelihara kebersihan serta kerapiannya. Seorang ibu rumah tangga memiliki “kekuasaan” penuh dalam hal pengaturan rumah tangga secara internal. Di sinilah sebenarnya nenek moyang kita telah mengajarkan pembagian peran antara kaum pria dan perempuan secara sejajar, adil, serta berimbang untuk secara terpadu menjunjung tinggi kebersamaan sebuah keluarga yang harmonis.

Globalisasi memang terus menggerus warisan luhur nenek moyang. Tidak hanya di kota, bahkan di dusun-dusun terpencil kini telah menjamur rumah-rumah dengan gaya arsitektur modern. Keberadaan omah limasan semakin terdesak dan menjadi sesuatu yang semakin sulit untuk menyisakan diri. Kemodernan memang sebuah keniscayaan jaman.  Namun akankah nilai ajaran luhur yang diajarkan para leluhur melalui bangunan omah limasan masih akan dapat bertahan sebagai sebuah nilai yang abadi tak lekang oleh jaman?

Ngisor Blimbing, 6 Maret 2013

Subscribe to receive free email updates: